Minggu, 02 Oktober 2011

Oleh-Oleh dari Sekolah



Setelah hampir tiga bulan bolak-balik sekolah-kos-kampus, akhirnya PPL saya selesai juga. Meski masih harus menyelesaikan laporan dan segala yang berkaitan dengan perpisahan, tapi sejauh ini terasa lega. Lega karena tugas praktek mengajar telah terlampaui dengan baik dan lancar. Tapi, ternyata di akhir ini, baru terasa sedihnya. Sedih karena harus berpisah dengan murid-murid cerdas di salah satu SMP negeri berstandar nasional di kabupaten Bantul ini.

Ada banyak kenangan di sana. Mulai dari kisah suka penuh tawa hingga kejengkelan kepada anak didik maupun rekan yang kurang optimal dalam kerjasama. Benar-benar membutuhkan kecerdasan emosi yang tinggi. Tak jarang ikut larut dalam kejengkelan, tapi justru malah rugi sendiri. So, jangan ditiru ya,, 



Pernah sekali waktu ada kejadian yang membuat saya terharu. Yakni ketika ada anak yang dengan antusias memanggil, ‘’Bu guru, bu guru, soal ini gimana caranya?” hehe.. agak berlebihan kali ya, terharu dengan hal-hal sepele. Tapi karena saya ini orangnya melankolis, hal-hal seperti itu jadi terasa sangat sensitif . Alasan kenapa saya terharu, karena anak2 kelas lain biasanya memanggil saya dengan sebutan ‘mbak’ baik di dalam maupun di luar kelas. Yah, mungkin karena wajah-wajah kami masih tampak hijau, sehingga masih di panggil ‘mbak’ meskipun di dalam kelas. Sampai giliran anak itu memanggil dengan sebutan bu guru, dengan wajah polos, serius dan tidak di buat-buat. Dan tiba2 bola mataku menghangat. Hohoho,, akan Ibu ingat namamu, Nak.. 

Selain kenangan mengharu biru itu, ada juga cerita lain. Yakni ketika upacara bendera. Setelah hampir 4th tidak mengikuti upacara-upacara seperti itu, kini hampir tiap senin harus rela berpanas-panas ria di tengah lapangan. Mengibarkan bendera, mengheningkan cipta, membaca teks pancasila, menyanyikan lagu wajib sampai mendengarkan amanat pembina upacara. Nah, bagian terakhir ini yang saya tunggu-tunggu. Yang lain wis karepe lah mau ngapain. . Saya menunggu bagian ini bukan tanpa alasan. Tetapi pasti ada alasan (lho, aneh). Jadi pengalaman nih, biasanya, yang menjadi pembina upacara akan berganti setiap seninnya. Dan setiap amanat yg diberikan oleh setiap pembina upacara, tentu berbeda-beda. Dan ini yang saya suka, mencari-cari sifat dan watak seseorang dari gaya berbicara dan isi omongannya. Meskipun, sebenarnya pidato sekitar 10 menit itu kadang belum memperlihatkan pola pikir yang sebenarnya. Namun paling tidak ada sedikit gambaran, harus bagaimana bersikap kepada masing2 guru yang menjadi pembina tadi. Ilmu ini juga berlaku dalam trik loby meloby ; orangtua, dosen, rekan bisnis dan lainnya, yakni itu tadi, dengan memahami watak seorang dari caranya berbicara di depan publik. Wiiizzz,,nggaya tenan rek..

Ada satu amanat dari salah seorang guru yang menjadi pembina upacara waktu itu. Dalam amanat beliau, dengan semangat menggebu-gebu dan meledak-ledak, si guru menekankan kepada siswa untuk terus meningkatkan nilai agar sekolah semakin berkualitas, mendapat ranking dan sebagainya. Kalau saya yang menjadi muridnya, tentu saya akan tertekan dengan amanat beliau itu. Sebenarnya, tidak pantas bagi saya untuk menilai seseorang, apalagi beliau adalah pahlawan –yang katanya- tanpa tanda jasa. Tetapi sebagai pelajaran, bolehlah saya sedikit mengeluarkan unek2. 

Hampir semua guru yang saya lihat pada sekolah tersebut selalu berorientasi kepada nilai akademik. Ya, nilai memang penting. Tetapi ada hal yang lebih penting buat anak didik kita saat ini, yakni karakter. Karakter yang saya maksud adalah karakter yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan berkarakter yang gaungnya kini sedang hangat dibicarakan, belum sepenuhnya tercermin dalam sistem sekolah tersebut. Di sana-sini masih ada saja anak yang berlaku kurang sopan kepada gurunya, berkata kotor kepada kawannya, berpacaran sepulang sekolah, bahkan merokok saat perjalanan pulang. Meskipun secara akademik mereka tergolong anak2 yang pandai. Miris melihat kondisi yang demikian. Saya dan teman2 pun cukup sering memergoki anak-anak yang berpacaran sepulang sekolah. Masih di lingkungan sekolah, mereka berani berpegangan tangan, bermesraan, berjalan bergandengan berdua menuju belakang sekolah yang sepi. Ck..ck..ck.., di usia mereka yang masih bau kencur saja sudah berani seperti itu (padahal yang sudah bau tanah ja belum berani, hehehe..) bagaimana nanti kalau sudah dewasa? Lagi-lagi, setiap elemen dalam dunia pendidikan haruslah lebih peka terhadap perbaikan karakter siswa sebagai calon penerus bangsa. Merdeka!!
Tentu saja praktek perbaikan karakter ini bukan hanya dari kurikulum maupun sistemnya. Tetapi juga disertai teladan dari para guru. Misalnya, realita di lapangan memperlihatkan siswa tingkat SMP sudah aktif merokok. Nah perlu kita tengok gurunya, apakah para guru ada yang merokok? Kalau ada, pernahkah siswa melihat secara langsung saat si guru sedang merokok? Jika jawabannya iya, maka wajar kalau siswanya kini pun merokok. Jika sudah seperti itu, biasanya susah untuk mengingatkan atau menasehati siswa yang bersangkutan. Karena hampir dipastikan dia menjadikan kebiasaan guru yang dia lihat sebagai pembenaran atas kelakuannya.

Berkaitan dengan hal ini, saya salut dengan kepandaian orang jawa dalam berbahasa. Setiap kata dalam bahasa jawa, hampir dapat ditafsirkan dengan baik dan pas. Misalnya saja guru, tafsirnya adalah digugu lan ditiru. Yang dalam bahasa Indonesia berarti dipatuhi dan dijadikan contoh. Tafsir ini dalam sekali maknanya. Ini mengisyaratkan bahwa di pundak setiap guru mempunyai beban berat, yakni sebagai panutan, terutama bagi murid. Setiap perkataan dan perbuatan akan menjadi contoh dan ditirukan oleh murid-muridnya. Ini bukan mengada-ada. Lihat saja anak-anak sekolah dasar. Ketika para orang tua membantu mengerjakan pekerjaan rumah yang cara penyelesaiannya berbeda dengan cara dari gurunya, pasti sang anak akan protes. ‘’ bukan begitu, kata bu guru begini, Bunda.” Padahal bisa jadi jawaban akhir yang diperoleh sama. Atau mungkin melarang teman yang curang ketika bermain, ‘’Pak guru bilang itu jelek, jadi nggak boleh curang’’, misalnya. Pada setiap kesempatan, sering sekali embel2 bu guru atau pak guru dipakai oleh anak2 sebagai penguat argumen mereka. Ini menandakan bahwa di usia-usia tersebut, mereka sangat mengagungkan sosok guru sebagai panutan. Jadi, berhati-hatilah wahai para guru. Karena setiap perbuatan Anda sangat menentukan sekali. Yaitu menentukan karakter bangsa di masa depan. Dan yang lebih utama, menentukan nasib Anda di akhirat kelak. Sebagaimana Rosul pernah bersabda: "Barang siapa menyeru kepada petunjuk (kebenaran dan kebaikan), maka baginya pahala seperti pahala yang di dapat oleh orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan, barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka." (HR Muslim)
Mengajak seseorang kepada petunjuk, yaitu dengan mengajarkan ilmu kepada manusia, menjelaskan dan membimbing mereka kepada kebenaran, maka dia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya.

Let’s see, sekecil apa pun kebaikan dan kejahatan, hal itu bisa berkembang menjadi besar. Sebab, orang yang melakukan sesuatu, tanggung jawabnya tidak sebatas pada apa yang ia lakukan saja. Tetapi, dia juga harus bertanggung jawab apabila ada yang mengikuti perbuatan dan perilakunya, baik perilaku itu berupa kebaikan maupun kejahatan. jika ia menyeru kepada kebaikan dan banyak yang mengikutinya, peluang masuk jannah tentu lebih besar. demikian sebaliknya.

Dan terakhir, mari kita memohon kepada Allah Ta'ala agar memberi kita kemudahan dan kekuatan untuk senantiasa berbuat kebaikan dan menyeru kepadanya. Tak lupa juga meminta agar kita mampu menghindari kejahatan, apalagi memberikan contoh yang tak layak.

9 komentar:

  1. wah nanti kalau sebut merk bisa kena sanksi.. hehehe.. yg jelas SMP N SSN rintisan SSI.. di kabupaten bantul. :-)

    BalasHapus
  2. emmm sy tau SMP di bantul yg SSN rintisan SSI...

    kalau baca paragraf 4, jadi inget dulu jadi pemimpin upacara... :D #sesuatuBgt

    BalasHapus
  3. ST.. :-D

    dulu, pas masih bau kencur yo,,, hehe..

    BalasHapus
  4. tau aja kalau gelarku nanti ST,,,aminn

    bukan bau kencur, tapi keringet... #lho

    BalasHapus
  5. subhanallah....calon guru yg ruaarrr biasa....hihihi

    BalasHapus
  6. begitu juga dengan mbak julia aisyah.,, :D

    Mari belajar bersama.. :D

    BalasHapus